Rabu, 06 Maret 2013

HASDUK BERPOLA: Kembali Mengingat Pramuka Yuuk...

Beberapa bulan belakangan, saya sering membaca film dengan judul unik dan agak tak biasa: "Hasduk Berpola" di Twitter, penasaran, saya lalu mengklik akun tersebut (@hasdukberpola) dan memfollownya, lalu saya telusuri timelinenya, menonton trailernya, dan pada akhirnya saya cukup penasaran dengan film tersebut. Seperti ini nih posternya:




Mengapa? Karena di tengah gempuran film-film remaja dan dewasa, anak-anak kita membutuhkan film yang cocok dengan usia pertumbuhan mereka. Film-film anak dalam negeri, asalkan dikemas dengan baik,  tak kalah menariknya dengan film anak buatan Hollywood, kita pasti masih ingat dengan film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi yang meraup sukses itu bukan?

Sinopsis Hasduk Berpola yang saya baca begini :

"Film ini bercerita bahwa perjuangan bertaruh nyawa demi bangsa dan negara pada jaman kemerdekaan, ternyata tak ada harganya. Ini yang dirasakan oleh Masnun, veteran mantan pejuang ’45. Di Surabaya, yang konon terkenal sebagai kota pahlawan, hidup Masnun (yang sering dielu-elukan sebagai pahlawan) justru terlunta-lunta. Sangat ironis. Ia bersama anaknya, Rahayu, janda beranak 2 (Budi dan Bening), akhirnya menyerah, dan pindah ke kota asalnya, Bojonegoro. Berharap kehidupannya bisa membaik. Namun apa daya, kehidupan pria renta yang terkenal sebagai saksi hidup peristiwa penyobekan bendera di Surabaya ini, justru semakin terpuruk.

Sang cucu, Budi (12 thn), tertantang untuk mengalahkan rivalnya, Kemal, yang aktif di kegiatan Pramuka. Maka ia juga berusaha untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tapi karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, Budi tidak bisa membeli semua perlengkapan kepramukaan. Film ini menceritakan bagaimana Budi berjuang memenuhi kewajibannya, hingga akhirnya membuat iba Bening (10 thn) adiknya yang rela mengorbankan seprei kesayangannya demi dibuat hasduk untuk kakaknya."

Ide cerita Hasuk Berpola cukup simpel, yaitu tentang seorang anak dari keluarga yang tidak berpunya. Ia kebetulan cucu dari seorang pejuang kemerdekaan yang terabaikan. Anak itu harus berjuang keras untuk mendapatkan sebuah benda sederhana yang tak mampu dibelikan oleh ibunya, yaitu sebuah hasduk demi mengikuti kegiatan kepramukaan di sekolahnya. Bagaimanakah akhirnya? Apakah perjuangan anak itu membuahkan hasil?

Saya memiliki pengalaman mengajar di sebuah tempat les menggambar yang mayoritas muridnya adalah anak-anak dari keluarga kaya raya. Anak-anak yang masih sangat belia tersebut sudah tak asing lagi dengan gadget seperti smartphone dan tablet. Di satu sisi hal tersebut cukup positif karena mereka sudah melek teknologi sejak dini, namun disisi lain, saya merasa miris mendengarnya. Anak-anak ini seperti sudah 'ketergantungan' dengan benda-benda tersebut. Ada anak yang bahkan berangkat les karena diiming-imingi oleh orangtuanya nanti boleh memainkan tabletnya. Anak-anak ini bahkan hanya mengetahui mal sebagai tempat rekreasi yang paling mengasyikan. Berbeda sekali dengan jaman saya sekolah dulu ketika saya sama sekali tak mengenal gadget. Masa kecil saya dipenuhi mainan-mainan 'biasa' seperti congklak, bekel, sepeda, petak umpet, petak jongkok, mainan digital yang ada hanya video game dan permainan komputer.

Saya miris karena anak-anak di jaman digital sekarang ini pastinya sudah jarang atau mungkin tidak mengetahui nilai-nilai luhur kepramukaan. Bahkan anak-anak SD saja sudah memiliki smartphone dan sering mengupdate status BBM atau Facebook bahwa mereka malas sekolah, hanya ingin bermain dan jalan-jalan. Obrolan-obrolan mereka jauh dari obrolan standar anak, dimana mereka saling menyombongkan tempat liburan siapa yang lebih enak, mobil siapa yang lebih bagus, smartphone siapa yang lebih canggih, sudah menonton film dari aktor si anu belum (yang jelas-jelas sebenarnya film itu bukan ditujukan untuk usia mereka). Terus terang hal ini sangat menggelitik perasaan saya.

melihat trailer film Hasduk Berpola saya seperti menemukan sebuah kedamaian, seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang. Saya melihat disitulah kodrat anak-anak sekolah yang semestinya. Bahwa mereka mestinya belajar dan menemukan banyak hal baru di luar, lewat kepramukaan. Dari film Hasduk Berpola ini saya ingin anak-anak nanti menyadari bahwa hidup konsumtif akan memupuk sifat serakah, dan agar mereka juga dapat mensyukuri hidupnya karena mengetahui bahwa di luar sana masih banyak teman-temannya yang  bernasib kurang beruntung. Semoga film ini sedikit banyak dapat memberikan inspirasi bagi kita dan anak-anak, dan semoga anak-anak kita dapat kembali ke dunia mereka yg semestinya, dunia anak-anak yang polos, dan penuh warna :) 





Minggu, 03 Maret 2013

Nonton Konser Tunggal Ari Lasso Sang Dewa Cinta #SDC2013


Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan tiket gold konser tunggal Ari Lasso dari majalah Femina, surprise soalnya harga tiketnya cukup fantastis bagi saya, Rp. 1.810.000,- seorang (saya dapat 2 buah) dan untuk tiket-tiket seharga 3 jutaan itu, saya cukup membayar pajak sebesar 5% (Rp. 181.000,-). Karena nggak terlalu ngefans sama Ari Lasso, saya gak jejingkrakan, saya cuma kaget aja, karena selama sejarah saya ikut kuis, hadiah inilah yang nominalnya paling mahal yang pernah saya terima. Tadinya sih mau saya jual...tapi...karena tiket yang saya dapatkan merupakan tiket khusus untuk media partner, di tiket itu tertera tulisan 'not for sale' dan tercantum harga Rp. 360.000. Kalau saya jual dengan harga sejutaan entar pada protes lagi, dan juga waktunya mepet banget. Acaranya hari sabtu, saya baru mengambil tiket itu hari jumat siang...jadi akhirnya saya dan pacar sepakat untuk menggunakan sendiri tiket itu. Ya sekali-kali pacaran sambil nonton konser mahal...hehe.



Di Hari H, kami cukup kebingungan mencari tempat konsernya (Plenary Hall, JCC). Di sekitar daerah Senayan malam itu cukup ramai karena sedang diadakan pertunjukan lainnya dengan massa yang cukup banyak, diantaranya band Stone Roses, wedding expo, dan pagelaran drama musikal Hanoman. 

Setelah muter-muter sambil sekalian mencari tempat parkir dengan perasaan kesal dan panik karena takut telat, sampailah kita di lokasi. Memegang tiket konser yang harganya 'wah' kayaknya memberikan sensasi yang beda buat kita, jadi lebih pede gitulah, ada perasaan diistimewakan, hehe. Tapi di gerbang pemeriksaan, satu pak wafer yang saya bawa untuk cemilan diambil. Why oh why? -__-

Setelah masuk, kami mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket. Saat itu jam menunjukkan pukul 20 lewat seperempat, tapi ternyata konsernya baru dimulai pukul 20.30, dan saya lupa bahwa saya tidak membawa air minum, bagusnya sih ini konser dengan iringan orkestra dan kita bisa duduk tenang, coba kalau konser heavy metal, pingsan kehausan kalik saya -_-

Ari Lasso muncul dengan setelan jas hitam membawakan lagu Rahasia Perempuan, disusul dengan Mana Ku Tahu, setelah itu ia menyapa penonton. Ternyata Ari Lasso adalah orang yang cukup kocak dan komunikatif dengan penontonnya, kalau kata Titi DJ, Ari Lasso adalah temannya yang paling "jawir" karena logatnya yang medok.



Di konser Sang Dewa Cinta itu, Ari Lasso juga menghadirkan Bunga Citra Lestari; sang mantan ibu negara- Ainun, Melly Goeslaw dan Titi DJ. Seperti biasa, Melly Goeslaw tampil dengan kostum yang cukup nyeleneh, dengan rambut yang berwarna putih, 'the one and only Melly Goeslaw " kata Ari. Ia berduet dengan BCL pada lagu Karna Aku Tlah Denganmu dan Aku dan Dirimu, Jika dengan Melly, dan Perbedaan dengan Titi DJ.

Ari juga mengajak penonton untuk menyanyikan lagu "Tanah Air" bersama-sama untuk Indonesia, dilanjut dengan "Badai Pasti Berlalu" kemudian ia membawakan lagu-lagu hitsnya yang lain seperti Tulus, Patah Hati, Arti Cinta, Cintai Aku Sepenuh Hati, Misteri Ilahi, Penjaga Hati, dan lain-lain, semua diiringi Magenta Orchestra pimpinan Andi Rianto.

Anak-anak Ari Lasso, Audra dan Abraham, sempat  mengejutkan ayahnya dengan naik ke panggung membawakan refrain lagu Misteri Ilahi, hal ini sempat membuat Ari berkaca-kaca, lalu ia juga mengajak Vita, istrinya naik ke panggung, lalu Ari meminta istri dan anaknya membungkuk ke arah penonton sebagai ucapan terimakasih mereka. 

Bagian terseru dari konser ini saat Dewa 19 muncul. Saya lumayan suka lagu-lagu Dewa 19, seperti Restoe Boemi, Kangen, Aku Milikmu, Satu Hati, Kirana dan Cukup Siti Nurbaya. Sayangnya di konser kemarin Aku Milikmu dan Kirana gak dibawakan, tapi lumayan juga sih, cukup menyenangkan untuk bernostalgia. Saya suka karakter suara Ari Lasso jaman dulu ketika masih melengking, cocok banget bawain lagu-lagu Dewa. Konser pun ditutup dengan lagu Hampa, Mengejar Matahari, lalu karena penonton masih pingin lagi, dengan mengenakan kaos oblong, Ari menyanyikan lagu Kamulah Satu-satunya.



Konser berakhir pada pukul 23.30an. Gak nolak kalau dapet hadiah tiket konser lagi, tapi mesti pikir-pikir baliknya kali yaa...secara malem banget bo -__-

stiker di bangku, diambil untuk kenang-kenangan (idenya pacar) hehe..




Antara Cewek, Motor Mogok dan Jiwa Ksatria...



Ini kejadian beberapa hari lalu di perempatan Kelapa Gading. Tau dong riuhnya traffic disana kayak apa. Saat itu, lampu merah sedang menyala. Saya memperhatikan satu persatu pengendara motor lainnya, pandangan saya berhenti ke pengendara motor yang berada 2 baris di depan saya. Karena jaraknya renggang-renggang, saya bisa melihat dengan jelas sosok cewek berambut panjang dengan dandanan yang kelihatannya modis. Ia naik motor matic. Tapi tiba-tiba saja sesuatu terjadi, mesin  motornya mendadak mati, saya liat ia mencoba menstarter motornya, sekali tidak bisa, dua kali tidak bisa juga, tiga kali tetap tidak berhasil. Sepertinya ia mulai terlihat panik. Setelah usaha ke empat gagal lagi, saya melihat cewek itu menepikan motornya dan mencoba menyalakan di pinggiran jalan


Saya melihat reaksi beberapa pengendara motor lain yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, tak ada yang bergerak untuk menolong cewek itu. Ada yang sepertinya ingin menolong tapi ragu, ia hanya melihat kearah cewek tersebut, yang lain? Seperti hanya menikmati kepanikannya. Saya? Apa saya bisa menolongnya sementara motor saya sendiri juga sering mengalami masalah serupa? Tak lama kemudian lampu merah berganti hijau, motor-motor kembali melaju kencang. 

Saya masih memikirkan kejadian tadi, bagaimana bila hal itu terjadi kepada saya. Motor saya sering mogok, tidak diragukan lagi, tapi syukurnya kalau sudah dipakai jalan, motor saya jarang sekali mati mesinnya. Saya mash memikirkan, bagaimana senadainya saya ada di posisi cewek tadi, pasti saya akan panik sekali. Kalau motor saya bertingkah, sudah tentu saya akan mencari pertolongan. Tapi di perempatan itu siapa yang bisa menolong? Saya hanya melihat pedagang masker. Tapi seapes-apesnya, diseberang lampu merah itu ada pos polisi, jadi setidaknya ia bisa menyebrang meminta pertolongan polisi bila motornya tak kunjung hidup juga. Cewek tadi masih beruntung karena masih sempat meminggirkan motornya sebelum lampu merah berganti hijau. Tapi yg masih bergelayut di benak saya adalah: kenapa para pengendara motor lain (pria) tidak ada yg tergerak menolong cewek tersebut? Kok tega-teganya mereka hanya menonton, tak adakah jiwa ksatria dalam diri mereka? Atau hanya kepepet karena waktu dan tempatnya tidak tepat? Cowok-cowok adakah yang bisa bantu menjawab??

 Hmm…Semoga saja di dalam hati mereka masih memiliki rasa iba, karena jujur saya kasihan sekali pada cewek itu dan berharap saya tidak akan pernah mengalami kejadian seperti itu.